Monday, November 28, 2011

Yacht Asing, Bea Cukai dan Belantara Hukum Indonesia


Akibat penahanan kapten kapal kecil non komersial oleh Polisi Air karena daluwarsa Surat Persetujuan Berlayar kapalnya, saya jadi buka-buka Undang-undang Pelayaran dan ketentuan lain yang relevan. 

Undang-undang Pelayaran nampaknya dibuat sebagai supermarket untuk segala yang berbau laut, pelabuhan dan kapal.  Dari mulai aspek usaha perkapalan yang terfokus pada usaha angkutan barang dan orang, pendaftaran dan penjaminan kapal, urusan kewenangan atur pelabuhan, keselamatan, navigasi dan lain-lain. Semua ketentuan yang ada dipaket dengan sanksi administratif dan sanksi pidana yang serius. 

Setelah menghabiskan satu harian membolak-balik UU Pelayaran,  saya hanya melihat sedikit sekali referensi ketentuan yang khusus tentang kapal kecil non komersial.

Untuk mempermudah diskusi, kita sepakati dulu definisi kapal kecil non-komersial itu apa.
Karena UU pelayaran mengggunakan Gross Tonnage sebagai dasar pembeda, maka anggap saja kapal kecil itu dibawah 25GT.  

Sebagai gambaran, kapal mancing atau layar fiberglass umumnya berukuran 10 sampai dengan 15 meter memiliki berat kurang dari 17GT dan kapal tersebut tidak digunakan untuk mengangkut barang ataupun penumpang umum.

Kapal dengan klasifikasi dibawah 25 GT disebut khusus dalam UU Pelayaran dalam beberapa hal;

1.     Pasal 62 yang bicara mengenai kewajiban Nakhoda kapal dibawah 35GT  untuk bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan dan ketertiban kapal & pelayar, namun tidak punya kewenangan penegakan hukum.
2.     Pasal 155 yang mewajibkan semua kapal baru yang dibuat di Indonesia untuk diukur oleh pejabat berwenang. Untuk yang diatas 7GT wajib diterbitkan surat ukur.
3.     Pasal 158  yang menegaskan bahwa hanya kapal berbendera Indonesia dengan GT diatas 7 yang bisa didaftar dalam buku kapal yang dipegang oleh  pejabat berwenang dan diberikan akta pendaftaran kapal. Ini hubungannya ke proses pengalihan kepemilikan dan penjaminan kapal;
4.   Pasal 163 membedakan jenis pendafataran kapal berbendera Indonesia. Untuk ukuran 7GT sampai dengan  175GT diberikan pas besar dan dibawah 7GT diberikan pas kecil.
5.     Pasal 126 yang mewajibkan adanya sertifikat keselamatan khusus untuk kapal ukuran 7GT keatas.

Selain hal tersebut diatas, Undang-undang dengan 355 pasal ini tidak membahas kapal kecil non-komersial secara khusus. Karena tidak ada perlakuan khusus, maka dapat diasumsikan seluruh kewajiban yang berlaku pada kapal besar dan super besar berlaku juga untuk kapal kecil. 
Yang menarik dari UU Pelayaran adalah ketentuan yang relevan dengan kunjungan  kapal non-komersial atau yacht asing  yang  selama ini memancing kontroversi, khususnya menyangkut aspek kepabeanan.

UU Pelayaran menyebutkan secara jelas bahwa kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia tunduk pada yurisdiksi Undang-undang tersebut.  Tidak ada larangan bagi kapal asing untuk berkunjung ke Indonesia. Juga tidak ada ketentuan menyangkut keharusan untuk memperlakukannya sebagai impor sementara (Pasal 9 UU Kepabeanan) sebagaimana diklaim oleh pihak bea cukai sebagai kewajiban hukum kapal asing yang berkunjung.

Pasal 166 UU Pelayaran mewajibkan setiap kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia harus menunjukkan identitasnya. Selama berada di pelabuhan dan akan bertolak dari pelabuhan wajib mengibarkan bendera merah putih. Jelas  itu berarti UU Pelayaran sama sekali tidak melarang masuknya kapal asing ke perairan Indonesia dan untuk bersandar di Pelabuhan Indonesia. Bahkan Pasal 194  menyatakan secara jelas  bahwa kapal asing dapat berlayar dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Dengan tidak adanya pembedaan kapal kecil versus kapal besar dan kapal pribadi versus kapal angkutan, maka seharusnya kapal asing non komersial diperlakukan sama dengan kapal-kapal besar komersial yang  tidak tunduk pada UU Kepabeanan kecuali menyangkut barang yang dibawa dan hendak diperdagangkan atau ditinggal di Indonesia. 

Lalu mengapa seluruh aparat pemerintah seakan-akan tunduk pada aparat bea cukai yang secara semena-mena menetapkan bahwa kapal asing nn komersial yang berkunjung ke Indonesia dianggap melakukan impor kapal yang mereka pakai berkunjung?  Padahal hal tersebut jelas  tunduk pada UU Pelayaran.

Disebabkan oleh blunder kegiatan yacht rally  beberapa tahun lalu, sejak 2009 setiap kegiatan yacht rally pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden seperti Sail Wakatobi tahun ini dan Sail Banda tahun 2009 dan 2010 lalu. 

Berdasarkan Kepres  tersebut diatas, hampir seluruh pejabat tinggi sipil dan militer Republik Indonesia menjadi panitia, tentu saja termasuk dirjen bea cukai. Karena Pak Dirjen juga jadi Panitia maka beliau dengan sigap mengeluarkan edaran mengenai proses impor sementara yacht tersebut yang dipermudah melalui Surat Edaran kepada seluruh kantor bea cukai. 
Hal ini membuat daerah lain yang ingin mengundang rombongan yacht jadi iri dan meminta Presiden keluarkan Kepres juga.

Kenapa pemerintah mau membodohi diri sendiri dan mempersulit diri dengan alasan yang jelas-jelas ngawur? kenapa pemerintah mau bikin repot seluruh jajaran pemerintah pusat untuk sekedar kegiatan yacht rally? Mau berapa Kepres dikeluarkan untuk memenuhi aspirasi daerah-dareah yang ingin buat kegiatan sejenis? bagaimana dengan daerah yang tidak kebagian Kepres? Kasian kan.    
 
Orang diseluruh dunia sudah mengetahui keindahan Indonesia dan ingin sekali berkunjung.  Tapi yang mereka tahu Indonesia tidak terlalu menerima kunjungan wisata mereka dengan tangan terbuka. Ini contoh informasi tentang kondisi buruk tersebut dari website referensi para pelancong dengan yacht www.noonsite.com.

Kalau memang pemerintah mau serius menerima kunjungan yacht dari mancanegara mengapa tidak perbaiki kondisi ini? Sebenarnya perbaikannya juga tidak sulit dan bisa cepat. Tidak perlu ubah UU Kepabeanan atau UU Pelayaran. Cukup kembali pada rel pemahaman yang tepat.  Jelas UU Kepabeanan tidak berlaku terhadap kapal asing yang melintas di perairan Indonesia, karena hal tersebut masih dalam cakupan UU Pelayaran. 

Untuk memperbaiki pengertian yang salah ini  Menteri Perhubungan perlu segera membuat peraturan pelaksanaan tentang bagaimana mekanisme kunjungan dan pelaporan oleh kapal asing non-komersial yang melintas di Indonesia.

Setelah itu perlu dipertimbangkan pula untuk membuat  kesepakatan dengan bea cukai bahwa dalam hal kapal asing non-komersial tunduk pada ketentuan pelaporan dan mungkin termasuk jangka waktu, sepanjang menyangkut kapal mereka, hal itu diluar UU Kepabeanan. Apabila ada kapal yang menyimpang, maka barulah masuk kewenangan Bea Cukai. 

Mudah-mudahan Pemerintah dapat segera mengambil langkah rasional untuk mengakhiri  keruwetan yang tidak perlu ini. 

***

Saturday, November 26, 2011

Penjara Minimal 5 Tahun Bagi Anda Semua Yang Berlayar Tanpa Ijin!

Kalau anda membaca blog ini pasti anda gemar atau paling tidak ingin  melaut. Kalau benar, simak tulisan ini baik-baik. Karena kemerdekaan diri anda jadi taruhan.

Beberapa waktu yang lalu saya mendengar bahwa seorang yang sedang melaut dengan kapal kecil (dibawah 7GT) ditangkap Polisi Air. Dia diproses pidana karena Surat Persetujuan Berlayar yang dibawanya dikeluarkan lebih dari 24 jam sebelum berlayar.

Surat Persetujuan Berlayar (SPB) atau dikenal juga dengan Port Clearence ini adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Syahbandar setiap kapal akan keluar dari pelabuhan. Kewajiban mendapatkan SPB ini ditetapkan dalam Undang-Undang Pelayaran (UU 17 2008).

Saya yakin kita semua tidak akan memperdebatkan  mengapa SPB diperlukan bahkan diwajibkan. Kegiatan laut bukanlah kegiatan tanpa risiko. Dengan kewajiban memperoleh SPB tiap kali berlayar, Syahbandar dapat memonitor keberangkatan dan kepulangan kapal tersebut sehingga keterlambatan kepulangan dapat menjadi early warning bagi keselamatan kapal yang bersangkutan.

Dengan SPB, kelaiklautan kapal dapat selalu di pantau oleh Syahbandar apalagi apabila menyangkut kapal penumpang. Sehingga jelas terlepas dari pertanyaan  apakah Syahbandar melaksanakan tugasnya dalam memperhatikan aspek keselamatan,  keberadaan SPB penting untuk pemantauan aspek keselamatan nakhoda dan penumpang.

Nah sekarang apa konsekuensi hukum bagi orang yang berlayar tanpa SPB ini? 

UU Pelayaran yang penuh dengan sanksi pidana itu secara gebyah uyah atau indiscriminately  memberikan sanksi pidana bagi nakhoda yang berlayar tanpa SPB atau yang SPBnya sudah berumur lebih dari 24 jam dari waktu dia berlayar.

Untuk jelasnya  berikut saya kutip ketentuan pasal 323 UU Pelayaran:


"Pasal 323
  1. (1)  Nakhoda yang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 

  2. (2)  Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). "

Jadi apakah anda Nakhoda kapal penumpang dengan 1000 penumpang atau Nakhoda ultra large crude carrier dengan GT550.000 atau Nakhoda kapal longboat dengan GT kurang dari 1, semua punya risiko pidana yang sama. Sounds fair? Menurut saya tidak. Bagaimana menurut anda?

Kita setuju bahwa ketentuan SPB penting demi keselamatan kita semua. Namun ketentuan itu harus diletakkkan dalam porsi yang pas. Untuk seluruh kapal yang digunakan untuk angkutan umum atau menyangkut keselamatan lingkungan orang banyak, jelas pelanggar persyaratan SPB ini harus dihukum cukup berat agar orang tidak menganggap enteng. Namun untuk nakhoda yang tidak mengangkut penumpang umum serta kapal berukuran kecil, jelas ini terlalu berat.

Bagi kapal kecil non-umum, seringkali lokasi sandar kapal tersebut  tidak pada pelabuhan umum yang ada Syahbandar atau kapal digunakan untuk keperluan singkat dan tidak jauh. Seharusnya untuk kapal semacam ini diberlakukan sistim keselamatan yang berbeda dengan pengawasan minimum dari  Syahbandar karena sifat dari kegiatannya yang tidak memberikan  risiko pada orang banyak ataupun masyarakat umum.

Ketentuan SPB ini umumnya tidak ikuti oleh kapal kecil. Sejak dulu, jarang sekali saya lihat kapal kecil memiliki SPB apalagi kalau hanya berlayar jarak dekat. Dengan ketentuan pidana yang berlaku umum itu, maka seperti kabar tentang nakhoda yang ditahan , urusan SPB hanya akan jadi obyekan petugas. Karena dengan ancaman hukum yang lima tahun, maka polisi memiliki kewenangan untuk menahan. Nah sudah jadi rahasia umum bahwa banyak oknum polisi yang senang memanfaatkan kewenangan ini untuk tujuan lain.

Oleh karena itu Menteri Perhubungan perlu segera memperbaiki ketentuan tersebut. Dalam UU Pelayaran disebutkan bahwa ketentuan mengenai SPB termasuk mengenai jenis-jenis kapal akan diatur dalam ketentuan Menteri.

Saat ini Peraturan Menteri Perhubungan No.1 tahun 2010 mengatur bahwa semua jenis kapal (termasuk kapal nelayan, jetski dan kapal-kapal dibawah 1 GT lainnya) tunduk pada ketentuan SPB.

Untuk memperbaiki masalah ini, Menteri Perhubungan perlu segera melakukan perubahan atas ketentuan tersebut dengan mengecualikan kapal kecil dibawah 7 GT dan digunakan bukan untuk angkutan umum sehingga tidak masuk dalam cakupan pasal 323 UU.

Sebelum Menhub mengubah ketentuan tersebut, maka daripada anda jadi obyekan, mintalah SPB sebelum anda berlayar.




Friday, January 7, 2011

Laut Untuk Rakyat: Buka Jalur Teluk Jakarta!

Kalau kita lihat kota besar di dunia yang memiliki garis pantai panjang, hampir seluruhnya membuka pantainya untuk rakyat. Mulai dari Alexandria, Casablanca, banyak negara Eropa, Australia, Cina dan bahkan Ulan Bataar (eh maaf Mongolia belum punya akses ke laut).

Sedangkan Jakarta akses ke laut dibekap oleh perumahan eksklusif dan industri tidak jelas. Ini jelas buruk sekali. Karena orang Jakarta tidak akan pernah betul-betul sadar bahwa sampah dan limbah yang mereka buang sembarangan berujung ke teluk Jakarta. Juga orang Jakarta tidak pernah ngeh bahwa mereka memiliki garis pantai yang panjang dan indah serta laut adalah bagian penting dari Jakarta masa lalu dan masa kini.

Sebenarnya kota Alexandria pernah punya nasib sama dengan Jakarta. Garis pantainya dahulu banyak ditutup oleh perumahan dan industri. Namun dengan masuknya pemda yang waras kurang dari sepuluh tahun lalu, garis pantai tersebut dibuka dengan merobuhkan segala bangunan yang ada di pinggir pantai untuk digantikan jalan. Coba lihat betapa indahnya jalur pantai Alexandria dalam kedua foto ini.

Untuk Jakarta seharusnya itu bukan hal yang mustahil. Pertama, mayoritas tanah di garis pantai Jakarta adalah tanah milik PT Pelindo berdasarkan hak pengelolaan. Sekarang kabarnya selain memakai sebagian tanahnya untuk pelabuhan, Pelindo kerjanya menyewakan tanah itu ke pihak lain. Biasanya Pelindo menyewakan dengan jangka waktu satu tahunan. Sehingga Pemerintah bisa suruh Pelindo hentikan perpanjangan sewa dan mengembalikan  tanah-tanah tersebut kepada pemerintah. Kedua, seluruh tanah di Indonesia yang dipakai oleh badan hukum berdasarkan Hak Guna Bangunan yang punya masa berlaku paling lama 50 tahun. Jadi untuk tanah non Pelindo stop perpanjangan HGB.

Mudah kan? tentu saja tidak akan semudah itu. Tapi yang jelas pekerjaan sudah harus dimulai.

Sejuta topan badai! demi angin puyuh, hutan bakau dan perahu nelayan, ayo buka pantai teluk Jakarta untuk RAKYAT!!!

Pemerintah Tidak Mau Industri Galangan Kapal Maju

 Kemarin muncul berita Pemerintah rangsang pengadaan kapal dalam negeri. dari judul beritanya bagus sekali. Saya berpikir isi beritanya adalah pemerintah ambil tindakan untuk menumbuhkan industri maritim (baik pariwisata maupun perikanan) yang berdampak pada tumbuhnya  industri galangan kapal dan produksi kapal dalam negeri. Setelah baca beritanya saya kecewa. Ternyata dalam pikiran pemerintahmenumbuhkan produksi kapal dalam negeri (dalam hal ini khusus perikanan) adalah dengan melarang impor kapal baru dan membuang uang Rp.251 milyar untuk inveasti 250 kapal baru yang berkisar 100 sd 600 GT . 


Saya bukan ekonom, tapi dengan logika mudah kita tahu bahwa itu jalan yang sesat. Kenapa? karena saat ini industri galangan kapal lokal belum tumbuh. Tanpa data empiris, saya bisa bilang harga kapal produksi lokal dengan kapal impor (dengan kualitas sama) masih jauh lebih mahal kapal produksi lokal. Sebabnya?  Yang utama adalah economies of scale dan belum adanya industri galangan yang signifikan. 

Dengan demikian, kebijakan pemerintah ini bisa saja menimbulkan kenaikan produksi lokal dan kenaikan tersebut bisa saja signifikan dalam persentase karena industri lokal masih kecil. Namun kebijakan itu malah bisa berdampak pada melambatnya pertumbuhan industri perikanan yang pada akhirnya  menimbul kan akabibat negatif pada pertumbuhan galangan kapal. Malah saya kok agak yakin kebijakan itu ujung-ujungnya bikin orang cari jalan belakang untuk impor kapal.
Kalau memang pemerintah mau tumbuhkan industri kapal, kenapa pemerintah tidak menempuh jalan lain. Buka saja impor kapal baru, kalau perlu dengan bea masuk rendah, akan tetapi pada saat yang sama beri pembebasan pajak impor bahan baku kapal termasuk mesin. Kalau perlu ditambah dengan keringanan pajak penghasilan dan PPN untuk jual beli kapal. Dengan begini kegiatan ekonomi yang menggunakan kapal bisa tumbuh karena tersedia kapal produksi legal yang murah. Kalau kegiatan ekonomi yang menggunakan kapal sudah tumbuh dan besar, pasti lah industri galangan kapal tumbuh pesat. Logikanya kenapa orang mau bikin kapal jauh-jauh kalau bisa mendekati pasar yang besar. Bukan kah begitu seharusnya?

Monday, December 13, 2010

Marina Keren, Pengguna Minim


Pernah kah anda ke Pelabuhan Sunda Kelapa tempat pinisi-pinisi pengakut berlabuh? Kalau pernah kemungkinan besar anda tidak mengetahui kalau di sebelah timur pelabuhan itu ada satu Marina yang relatif baru dan untuk ukuran Indonesia super keren. Namanya Marina Batavia.

Dari pengamatan saya, siapapun pemilik Marina ini pasti dia membangun Marina bukan semata-mata menggunakan hitungan bisnis. Bagaimana tidak. Fasilitas yang ada di Marina tersebut boleh dibilang terlalalu bagus dan mewah untuk pasar pengguna kapal pesiar yang masih sedikit di Jakarta. Sehingga tidak heran kalau sampai saat ini masih banyak tempat sandar (berth) yang kosong. Disamping itu, fasilitas pendukung Marina yang tersedia terbaik untuk ukuran Indonesia. Kalau dibandingkan dengan dua marina lainnya di Jakarta (Marina Ancol dan Pantai Mutiara), Marina Batavia bisa dibilang seperti Hotel bintang lima dan yang dua itu seperti kos-kosan. Di Batavia semua fasilitas pokok disiapkan dengan baik. Untuk tempat makan misalnya, Marina Acnol tidak memiliki tempat makan khusus dan Marina Pantai Mutiara memiliki warung Indomie. Hal ini tidak bisa dibandingkan dengan Batavia yang memiliki restaurant dengan standar hotel berbintang. Tidak heran kalau Marina ini kerap dijadikan tempat pesta perkawinan.

Untuk kamar mandi, saya tidak tau marina Ancol punya kamar mandi. Marina Pantai Mutiara dan Batavia punya kamar mandi dan wc dengan supplai air bersih. Namun fasilitas kamar mandinya jelas tidak sebanding. Pantai Mutiara punya sekitar 4 kamar mandi/wc dengan wc jongkok. Untuk mandi, tersedia Ember kecil penampung air mandi lengkap dengan gayungnya. Karena dekatnya ember dengan wc jongkok, setiap mandi kita berharap agar air di ember tidak bercampur air seni orang. Bagaimana dengan Marina Batavia? bintang lima! kamar mandi yang selalu kinclong dan harum dengan shower air dingin dan panas.

Kabarnya banyak lagi fasilitas-fasilitas lainnya di Batavia yang mengukuhkan bahwa marina tersebut betul-betul disiapkan dengan standar internasional. Satu lagi kelebihan Batavia yang tidak dimiliki oleh Marina lain, Batavia kabarnya menyediakan fasilitas naik dok untuk pengecekan rutin tahunan termasuk anti fouling! ini betul-betul service yang harus diacungi jempol. Karena saya tahu betul mencari tempat naik dok di Jakarta untuk kapal pesiar sama sekali tidak mudah. Dahulu pernah ada dok Sindang Laut milik Tommy Soeharto. Namun beberapa tahun belakangan tampat itu di tutup karena tanah dimana fasilitas tersebut berada milik Pelindo. Setelah reformasi Pelindo baru memiliki keberanian meminta kembali. Fasilitas lain ada beberapa di Marunda. Namun jalan masuknya harus melewati sungai yang cukup dangkal sehingga kapal dengan draft cukup dalam tidak mungkin masuk.

Saya hanya bisa berharap Marina Batavia bisa bertahan terus menunggu membesarnya pasar kapal pesiar di Jakarta sehingga usaha yang nampaknya tidak masuk akal secara komersial menjadi masuk akal.

Wednesday, October 8, 2008

Beli Kapal Motor Tua, Mesin Tua-Aduh!


Kapal pertama yang saya beli adalah motor boat. Ini adalah awal dari cinta saya dengan laut yang akhirnya berlangsung sampai sekarang. Kapal yang saya beli adalah kapal fiberglass buatan salah satu galangan lokal akhir 80-an. Betul itu adalah kapal tua dengan dua mesin dalam diesel yang tentunya juga sudah tua.

Saya dengan modal pas-pasan itu betul-betul tidak mengerti masalah apa yang akan saya hadapi. Ternyata kapal tua dengan mesin tua katanya jauh lebih demanding dari istri yang sudah tua. Walaupun istri saya masih muda dan sangat menyayangi saya, saya bisa mengerti maksud teman itu. Sejak awal dibeli tidak pernah berhenti si kapal itu menuntut perawatan.
Masalah pokoknya jelas dan simple, mesin itu sudah tua!

Ketika saya merasa sudah cukup dengan mesin tua itu dan bermaksud mengganti dua mesin itu dengan yang baru, saya tersedak mendengar harga mesin diesel marine buatan Eropa baru. Harga satu mesin baru saja sudah sama dengan harga kapal waktu saya beli. Jadi jelas itu bukan opsi yang baik. Untuk mengganti mesin dengan mesin truck yang dimarinized, saya tidak tega karena kapal fiber saya itu bakal tidak bisa planning. Sering saya memaki diri sendiri, modal cekak gayanya selangit!

Ada teman kemudian memberi ide. Mesin dalam diesel yang memang di Jakarta dikenal rewel diganti saja dengan mesin tempel bensin yang dikenal lebih bandel. Itu memang ide yang bagus.
Akan tetapi mengganti mesin dalam dengan tempel, saya harus melakukan modifikasi body sehingga bagian belakang kapal lebih panjang dan bisa dipasang mesin tempel. Untuk itu saja biaya yang paling kurang seratus juta harus keluar. Untuk mesinnya sendiri, diperlukan yang memiliki power cukup sehingga paling tidak harus diatas 200pk x2.

Dengan harga bensin yang sudah mulai naik waktu itu dan kalau sayang lingkungan hidup maka bagusnya ambil mesin yang 4 tak sehingga bensin lebih irit dan lebih environmentally friendly. Itu sendiri artinya harus keluar uang paling kurang tiga ratus juta.

Akhirnya yang terjadi adalah mesin baru tidak bisa beli, mesin lama rusak dan tidak mau saya perbaiki karena saya tahu perbaikan tidak akan pernah berhenti. Akhirnya kapal nongkrong dan saya menjadi absen kelaut selama berbulan-bulan.

Dari pengalaman itu pelajaran yang bisa saya ambil adalah:

1. Jangan membeli kapal dengan mesin inboard atau outboard yang sudah tua dan sudah di oprek2. Karena pasti kondisi mesin itu tidak reliable. Perlu dicatat bahwa hampir semua kapal di Jakarta tidak langsung ditangani oleh pemilik. Kapal-kapal tersebut di urus oleh “kapten” kapalnya yang umumnya bekerja secara full time. Akan tetapi karena pemilik merasa bahwa kapten ini jarang dipakai kelaut maka banyak yang underpaid. Karena itu banyak (catat: tidak semua) yang mencari kegiatan dan uang tambahan dengan mengkanibal mesinnya dengan menjual parts yang bagus (mengganti dengan yang rusak. Kemudian dia melapor kepada bossnya bahwa bagian mesin itu rusak dan menjadikan penggantian sebagai proyek. Sayangnya proyek penggantian dengan budget spare parts baru itu tidak dilaksanakan dengan baik karena spare part yang dibeli adalah parts bekas.

2. Mesin outboard lebih reliable dan perawatan lebih mudah dan murah. Kalau budget anda agak lega, beli mesin 4 tak karena lebih ramah lingkungan, irit dan tidak berisik.

3. Kalau anda menginginkan mesin diesel akan tetapi budget anda tidak terlalu besar, lebih baik menggunakan mesin diesel non marin yang dimarinized. Mesin ini tidak dapat memberikan speed yang sama dengan mesin marine akan tetapi spare part jauh lebih mudah dan murah. Saya harus menunggu rata-rata satu bulan untuk memperoleh spare part mesin marine buatan Eropa dengan harga yang mencekek leher.

4. Karena kegiatan dilaut adalah rekreasi yang tidak setiap hari anda lakukan, maka penting untuk memiliki mesin yang sehat, reliable dan handal. Percayalah, rasa khawatir bahwa mesin anda akan ngambek di tengah laut menghilangkan sebagian besar rasa senang anda berada di laut.

Tuesday, October 7, 2008

Akhirnya Ada Sekolah Layar di Jakarta!

Tiga tahun lalu saya setengah mati keliling pesisir Jakarta untuk cari perahu layar yang bisa disewa supaya saya bisa mulai belajar layar. Pencarian dimulai dari Pangkalan TNI AL di Pondok Dayung Tj Priok dan berakhir di Pantai Mutiara Pluit.

Walapun akhirnya saya menemukan sekumpulan kapal layar, tidak ada yang menawarkan program belajar layar. Namun atas jasa baik penjaga marina tersebut, saya dikenalkan dengan pemilik salah satu kapal layar yang pekerjaannya membuat trip ke puau Seribu, Krakatau etc.

Dari situ saya juga mengetahui bahwa ada yang namanya Jakarta Offshore Sailing Club yang mengadakan acara race secara rutin. Mereka juga membuka kesempatan bagi non anggota untuk partisipasi dalam race dengan menjadi crew. Mengikuti race memang bisa jadi sarana belajar yang menarik, akan tetapi sebagai pemula mungkin agak grogi untuk langsung ikut balapan.

Untungnya sekitar satu bulan lalu hadir sekolah layar di Jakarta Longitude 106 East (namanya diambil dari dari posisinbujur timur Jakarta) yang menawarkan pelajaran layar untuk pemula dan yang sudah punya sedikit pegalaman baik dengan menggunakan dinghy (perahu kecil) yang diadakan di ISCI Lebak Bulus maupun keel boat (kapal layar dengan panjang mulai dari 7 meter) yang diadakan di marina Pantai Mutiara.

Kabarnya Longitude 106 ini menawarkan pelajaran dengan sertifikasi International Sailing School Asscoaiation dan American Sailing Association. Ini mungkin menjadikan Longitude 106 menjadi satu-satunya sekolah layar paling serius di Indonesia.

Selamat datang Longitude 106 semoga bisa membuat olah raga layar di Jakarta menjadi lebih meriah

UPDATE Desember 2010

Akhirnya Sekolah Layar Itu Membeku

Ada kabar kurang menyenangkan. berdasarkan informasi dasar pihak yang cukup bisa di percaya, kegiatan sekolah layar Longitude 106 saat ini dibekukan oleh pemilik. Yang saya dengar sebab pembekuan adalah jebolnya tanggul di Situ Gintung tahun lalu yang menyebabkan lenyapnya air di danau Gintung yang menjadi base dari kegiatan sekolah layar tersebut untuk kelas dinghy. Sementara itu peyelenggaraan sekolah untuk kelas keelboat terhambat oleh tindakan bea cukai menyegel kapal layar yang digunakan untuk pelajaran keelboat tersebut.

Sungguh ini merupakan set back kegiatan layar di Indonesia dan kita hanya bisa berharap agar ada pihak lain yang mau memulai kegiatan serupa dan masalah-masalah diatas yang dihadapi oleh Longitude 106 dapat terselesaikan sehingga dapat beroperasi kembali.

Selamat tinggal Longitude 106 until we hope to see you again soon!

Monday, September 15, 2008

Indonesia Menjadi 'Yachting Destination': Mimpi di Siang Bolong




Belum lama ini sekitar 103 sailing yacht perserta Sail Indonesia ditempelin stiker oleh bea cukai (baca pemerintah). Stiker itu bilang bahwa kapalnya "disegel" karena tidak bayar bea masuk atau tidak melaksanakan proses impor yang benar.

Padahal kegiatan yang mereka ikuti adalah program yang disupport oleh Departemen Pariwisata dan DKP (baca Pemerintah). Coba bayangkan, dengan tingkat kunjungan sailing yacht yang sangat kecil ke Indonesia karena ruwet dan tidak jelasnya aturan masuk, ada lebih dari seratus yacht yang berkunjung atas undangan pemerintah juga eh malah disegel. Sementara keterangan resmi dari penyelenggara sail indonesia bilang bahwa terjadi kebingungan dari kantor Bea Cukai Kupang karena mereka tidak siap dengan kedatangan dari yachts peserta sail Indonesia. Semua kapal yang datang ditempel stiker atau disegel. Namun setelah mengisi selembar kertas dan bayar $5, mereka boleh jalan.

Walaupun tidak salah, keterangan itu agak misleading. Memang Bea Cukai (pemerintah) nyegel kapal-kapal itu. Karena mereka menganggap setiap kapal yang datang adalah import barang (dalam hal ini kapal dan segala isinya). Oleh karena itu harus mengisi PIB (pemberitahuan impor barang) sebelum mereka datang dan bayar deposit sejumlah beas masuk yang harus dibayar (dalam hal ini 50% dari nilai kapal).

Kekurang akuratan kedua dari berita resmi itu adalah pelepasan kapal kata berita di koran lokal adalah setelah seorang dirjen DKP memberikan jaminan atas kapal-kapal tersebut...maksudnya? Coba lihat, yang dilakukan oleh Bea Cukai (pemerintah) sudah cukup aneh, eh ditambah solusi lebih aneh lagi. Jaminan dari Dirjen Kelautan dan Perikanan! tapi berita resmi dari pemerintah bilang bahwa ini semua kesalahan panitia acara karena tidak melakukan kesepakatan sebelumnya. Jadi mana yang harus dipercaya......yang pasti benar adalah kejadian ini menunjukkan bahwa pemerintah kita ini memang dodol!

Berita buruk itu disampaikan oleh lebih dari 300 org peserta yang tentu saja kebanyakan memiliki blog yang terus diupdate antara lain melalui sailmail dan situs-situs berita tentang layar misalnya noonsite. Ini jelasmerupakan public relation yang sangat buruk bagi Indonesia.

Padahal dalam satu seminar mengenai Wisata Bahari di Jakarta baru-baru ini, seorang Dirjen dari Departemen Pariwisata menyatakan bahwa salah satu pilar wisata bahari adalah kunjungan sailing yacht (yang ingin copy papernya silahkan request, saya akan email pdf version).

Jelas pemerintah tidak sanggup untuk menjalin komunikasi dan kerjasama antar institusinya. Sekalipun masalah yang dihadapi adalah masalah yang menjdi program inti Departemen. Kalau memang itu masalahnya jelas kita tidak bisa berharap banyak. Kalau eselon (bahkan menteri) Departemen Pariwisata tidak bisa membuat eselon satu departemen keuangan (Dirjen Bea Cukai) membantu terlaksananya program utama Departemennya, maka tidak ada orang lain yang bisa. Kecuali kalau pendekatan yang dilakukan adalah diluar jalur normal, hal yang sering dilakukan jaman ORBA. Jangan-jangan Departemen Pariwisata harus menyewa konsultan untuk melobi Direjen Bea Cukai supaya programnya untuk memberi kemudahan visiting yacht bisa terlaksana.

Karena sampai sekarang Dirjen bea cukai masih tetap keukeh mensyaratkan bahwa visting yacht dianggap sebagai impor barang sehingga harus melalui proses PIB dan membayar uang jaminan. Dengan proses tersebut jelas kita sama sekali tidak bisa berharap adanya peningkatan jumlah visisting yacht ke Indonesia.